Pergeseran nilai modernisasi lapo di perkotaan
Bagi suku batak tentulah tidak asing lagi bila mendengar istilah lapo , Suatu tempat dimana umumnya para bapak dan bahkan pemuda berkumpul sambil menghabiskan waktu dengan diskusi membahas topik yang sedang hangat baik tingkat lokal maupun regional, bahkan di tingkat dunia.
Sang owner lapo sebagai fasilitator agar topik pembicaraan tetap hangat dan hot untuk di bicarakan, menyediakan minuman penghangat seperti kopi dan teh, namun ada juga lapo yang menyiapkan minuman penghangat seperti tuak, bir dan minuman lainnya.
Tidak lupa sambil minum minuman penghangat, diselingi dengan makanan tambul dari daging yang di masak dengan gulai. Namun apabila sang pemilik lapo sedang kehabisan bahan daging, bahan makanan dari ikan atau kudapan apa saja yang tersedia, pasti akan menjadi santapan nikmat sebagai selingan minuman penghangat yang terkadang membuat semakin lama semakin berat.
Agak berbeda lapo di kota jakarta dengan yang ada di Bona Pasogit atau di desa pada umumnya, karena Lapo di desa umumnya hanya di kunjungi para bapak dan anak muda yang terkadang tidak bosan menghabiskan waktu berjam-jam dengan minuman penghangat tersebut. Apa lagi sudah di tingkahi dengan musik gitar sambil minum tuak, maka suara musik dan lagu serasa merdu tiada banding.
Boleh jadi bagi orang lain yang sedang lewat merasakan suara yang serasa di paksakan dan memekakkan telinga seperti suara gaduh karena umumnya apabila seorang menyanyi pasti yang lain ikut menyumbang suara pula, namun tidak jarang pula pemilik suara apik yang sejatinya merdu melepaskan suara emasnya di lapo tersebut sehingga membuat pendengar disisi kiri dan kanan lapo terpana sambil diam-diam menikmati lagu yang dilantunkan para pengunjung lapo sambil minum tuak.
Kalo bapak-bapak sudah kelamaan di lapo, biasanya para ibu pula yang protes karena banyak pekerjaan bapak yang terbengkalai, terlena dengan minuman dan cerita-cerita hangat yang timbul begitu saja, menjadi bahan perdebatan berjam-jam lamanya sampai lupa waktu.
Sementara lapo di Medan maupun di Jakarta yang lebih moderen umumnya sudah lebih terbuka dan banyak di kunjungi keluarga, walaupun yang berada di daerah tertutup masih seperti lapo yang ada di desa bona pasogit umumnya.
Ya lapo yang lebih moderen agak bergeser patronnya, lebih terbuka untuk kalangan keluarga dan lebih mengutamakan ketersediaan makanan khas yang disantap oleh keluarga bersama-sama. Walaupun disana sini masih tersedia minuman berat yang disediakan secara eksklusif.
Perbedaan penggunaan lapo di perkotaan tentu saja sudah lebih berkembang dan terbuka, karena pola pikir yang lebih moderen yaitu memanfaatkan waktu yang ada sebaik mungkin. Para pengunjung lapo di perkotaan sudah berorientasi kepada hiburan bersama keluarga. Begitu juga dengan tampilan lapo yang lebih moderen, bersih dan terbuka.
Tentu saja ini adalah pergeseran pemanfaatan lapo kearah yang lebih baik, ketimbang penggunaan lapo yang klassik yaitu marmitu (minum tuak) dari pagi (jam produktif bekerja) hingga matahari terbenam. Sementara itu sang istri bekerja di sawah atau ladang sambil menjaga dan menggendong anak. Belum lagi apabila digelar domino atau qiu-qiu yang mengarah pada perjudian.
Tidak jarang para pengunjung lapo di pedesaan pulang dengan wajah yang memerah dan mata sayu, karena sudah kebanyakan minum minuman penghangat yang tidak terkendali. Beda dengan fungsi lapo di perkotaan yang sudah menitik beratkan pada kuliner, sehingga mengajak teman wanita ke lapo di perkotaan sudah lumrah untuk makan enak, makanan khas batak yang tidak akan terlupakan di lidah, walaupun merantau sampai ke ujung dunia.
Seiring dengan perkembangan waktu, pastinya lapo di desa juga akan mengalami perubahan, mengingat kedepannya, untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga membutuhkan tenaga, pikiran dan waktu yang lebih besar. Hal ini tentunya bukan hanya berpengaruh terhadap lapo saja, tetapi dari sisi budaya batak lainnya akan sangat berpengaruh pula.
Terbukti acara adat pernikahan yang sudah banyak dilaksanakan beberapa marga, mengalami perubahan yang lebih singkat, namun tidak mengurangi makna untuk menjujunjung adat yang sudah dilaksanakan turun temurun.
Semoga lapo di masa depan baik didesa maupun diperkotaan memiliki nilai yang lebih strategis dalam membangun masyarakat batak, bukan hanya sebagai tempat wisata kuliner dan penghilang penat usai bekerja. Namun juga sebagai tempat transfer budaya yang mendekatkan generasi muda pada adat keluhurannya.