Wabah Penyakit Membuyarkan Keturunan Lottung Marsada ke Desa Na Walu
PERJALANAN PANJANG SIREGAR I
Anak cucu keturunan Lottung hidup dengan makmur di Samosir, beranak pinak dan berkembang. Lottung di kenal juga dengan sebutan Lottung Si Sia Marina, Pitu Anakna, dua Boruna. Ada juga versi lainnya yang menyebut Lottung Si Sia Marina, Pitu Anakna, Sada Boruna Pasiahon Bapakna.
Ketujuh Keturunan Lottung tersebut adalah :
- Situmorang
- Sinaga
- Pandiangan
- Nainggolan
- Simatupang
- Aritonang
- Siregar
Sedangkan borunya :
- Boru pertama menikah dengan Panggabean
- Boru kedua menikah dengan Pandan
Sedangkan versi lainnya mengenai putri lottung menyebutkan borunya hanya satu, tetapi dua kali menikah :
- Pertama dengan Marga Panggabean
- Kedua dengan Marga Pandan
Siregar sebagai siampudan dari keturunan Lottung dalam kehidupan sehari-hari di sayang dan dimanjakan oleh abangnya Simatupang, sehingga siregar bertumbuh dan hidup nyaman dari pemberian abangnya Simatupang. Di sisi lain, saudara-saudaranya yang lain justru benci melihat tingkah laku siregar yang hidup enak tanpa kerja keras.
Kehidupan yang nyaman dan tenang di tepi Danau Toba tersebut ternyata tidak bertahan lama, hanya tiga generasi saja dan terjadi wabah penyakit yang cukup menghawatirkan bagi keturunan Lottung tersebut.
Apa daya, masing-masing keturunan mengambil keputusan untuk cabut dari tanah kelahirannya dan pergi ke negri lain, pergi sejauh-jauhnya dari kejaran wabah penyakit yang melanda.
Keturunan Pandan Boru Lottung memutuskan segera keluar wilayah dan berjalan terus hingga sampai di Muara Sungai Bila di tepi selat malaka dan menjadi orang-orang melayu disana.
Keturunan Nainggolan melintasi bukit kearah Tenggara dan berdiam di antara pangururan dan onan runggu. Namun akhirnya ada yang melanjutkan perjalanan menyeberangi Danau Toba hingga sampai dan tinggal di Pahae.
Keturunan Marga Simatupang mempersiapkan keberangkatan dengan menggunakan kapal yang dapat memuat perlengkapan kebutuhan hidup, dengan tujuan daerah sekitar danau toba yang lebih baik untuk tempat tinggal dan bertani.
Keturunan Pandiangan merupakan keluarga yang paling parah mengalami wabah penyakit, sehingga mereka berpencar dengan memisahkan diri menjadi kelompok yang lebih kecil ke wilayah yang berbeda, demi mencegah lebih meluasnya wabah penyakit.
Keturunan Siregar dengan senang hati menolong menuntun ternak saudaranya yang pindah ketempat lain. Namun ada saja yang diselewengkan ketempat lain, ke hutan untuk disembelih menjadi santapan mereka. Namun Keturunan Pandan, Nainggolan dan Simatupang yang mengetahui kelakuan adiknya Siregar, tidak memberi kepercayaan kepada adiknya itu untuk membantu mengangkut ternak maupun beras.
Pada saat Keturunan Pandiangan berbagi warisan karena memecah diri menjadi kelompok yang lebih kecil, Siregar pun mencari akal untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan mengambil beras dari lumbung beras Pandiangan tanpa ijin.
Keturunan Pandiangan yaitu Gultom akhirnya tidak kebagian beras karena sudah di kuras oleh Siregar. Akhirnya Gultom menggugat Siregar kepada Situmorang yang di anggap pemimpin yang di hormati. Namun apa daya, Situmorang yang sedang dijangkiti wabah penyakit tidak berdaya memberi ganjaran kepada Siregar.
Keturunan Gultom mengkuasakan gugatan kepada marga Sinaga terhadap Siregar, yang telah mencuri beras dari lumbung Pandiangan. Ternyata, hal ini sudah lama di tunggu Sinaga turun temurun untuk menghajar Siregar. Keluarga Sinaga memukul genderang perang agar berkumpul, turut bergabung keturunan Aritonang dan keturunan Panggabean. Sedangkan Siregar melanjutkan makan tanpa mengetahui sudah dalam situasi bahaya.
Dengan bersenjatakan Tombak, Pedang, kayu dan lain sebagainya, mereka menyerang keturunan Siregar yang sedang asik makan-makan, akhirnya keturunan Siregar terdesak hingga ketepian Danau Toba dengan tubuh kesakitan. Keturunan Sinaga mengambil keputusan akan menenggelamkan atau memberi hukuman mati kepada keturunan Siregar.
Keturunan Simatupang yang sudah memulai perjalanan eksodus dengan kapal, ternyata masih dapat melihat kejadian penyerangan terhadap keturunan Siregar di pantai. Merekapun memutar haluan dan mengajak keturunan Sinaga agar berdamai. Keputusan vonis mati akhirnya di rubah menjadi vonnis hukuman keluar dari Lottung, satu orang pun tidak boleh tinggal di Lottung. Kemudian keturunan Siregar mereka bawa dengan menggunakan kapal.
Berangkatlah keturunan Siregar keluar dari lottung tanpa membawa barang-barang, perlengkapan apalagi persediaan makanan. Yang ada hanya omong besar dan saudara tuanya Simatupang.
(Sumber : Tuanku Rao, Mangaradja Onggang Parlindungan)