Korban Persembahan Manusia

 

PERJALANAN PANJANG SIREGAR VIII

Menjadi korban di Dolok Pamelean dianggap sebagai suatu kehormatan yang besar, baik bagi Sikorban maupun keluarga korban, sehingga tidak kurang setiap tahunnya calon pemuda yang terbaik mengajukan diri menjadi korban persembahan di Dolok Pamelean.

Mereka memiliki kepercayaan bahwa Manusia Korban persembahan itu, setelah mati akan langsung menuju ke Banua Ginjang (Alam Dewa) bertemu dengan Tuhannya dan menyampaikan Salam dari Siregar Salak. Dimana di Alam tersebut tidak ada lagi Lelah bekerja banting tulang di tanah yang kering dan gersang untuk mengairi sawah.

Disurga tersebut juga korban hanya mengikuti Tuhannya dengan menunggang kuda, gratis makan dan minum tuwak tanpa batas dan banyak wanita-wanita cantik yang menemani.

Para pemuda Calon-calon korban tersebut dipilih sesuai persyaratan yang diberikan oleh tetua yang terdiri atas tiga orang datu atau supranatural saat itu.

Pemuda calon korban yang dipilih adalah yang sehat dan tampan, kemudian di hias dengan berbagai daun-daunan yang memiliki symbol tertentu seperti Daun Beringin, Daun Sibiobio dan banyak lagi daun-daunan lain.

Sehingga timbullah saat itu istilah “jagar-jagar anso sai sayur matua bulung”, yang artinya saat ini sudah tidak sesuai lagi. Karena istilah tersebut adalah Pemuda sehat dan tampan yang tepat dan memenuhi syarat untuk dipersembahkan sebagai korban persembahan.

Selama tujuh hari dan tujuh malam pemuda tersebut dipuja dan dirajakan. Disembah oleh tiga pimpinan kerajaan Siregar Salak (yang sementara waktu berhenti dari pertengkaran akibat selalu saja ada perselisihan), sehingga inilah moment scenario (politik) yang disiapkan oleh Ompu Paltiraja Siregar agar ketiga pimpinan kerajaan masuk dalam fase peleburan atau refreshing sehingga “bersatu kembali”.

Pemuda tersebut focus pada Hypnotis yang dilakukan oleh ketiga orang Datu atau Tetua tersebut. Begitu kuatnya hypnotis tersebut sehingga ularpun bisa menjadi tongkat. Dalam kondisi trance atau hypnotis tersebut, pemuda tersebut memeluk Batu Linggam (Phallus Worship Monolith) yang berdiri tegak atas tiga batu di bawah pohon Beringin di Dolok Pamelean sebagai symbol kesuburan.

Dalam kondisi tidak sadar sedang  memegang Batu Linggam, ditusuklah pemuda tersebut dari belakang menggunakan “Hujur Panaluan”(Tombak Pusaka) menembus jantungnya. Mengalirlah darahnya membasahi tanah dibawah pohon Bona Ni Asar, diatas Dolok Pamelean, dengan harapan panen berlimpah-limpah ditanah tandus di Sipirok.

Upacara ritual persembahan manusia pun selesai, dilanjutkan dengan mengarak Jenazah korban menggunakan kereta yang di Tarik oleh Gajah. Acara mengarak jenazah ini diiringi oleh ribuan  rakyat sambil mengadakan pasar malam sepanjang perjalanan prosesi Gajah Lumpat.

Previous Article
Next Article

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *