Sumpah Togar Natigor Siregar Terlaksana
PERJALANAN PANJANG SIREGAR XII
Tuanku Rao sebagai Gubernur Militer di tanah Batak mengadakan rapat untuk memberikan perintah dan instruksi kepada batalion Achmad bin Baun Siregar Bersama Djatengger Siregar dalam rangka penaklukan Benteng Bakkara.
Bila menang mereka akan mendapat “gelar Tuanku” yang akan diusulkan Tuanku Rao dan kedudukan “General Officer tentara padri” dengan dua koloni pasukan ditambah bantuan artillery yang dikirim dari Benteng Bonjol.
Tuanku Rao berkata, bahwa dia kelak tidak akan sampai hati pergi ke Bakkara dimana bergelimpangan jenazah dari kaum kerabatnya sendiri baik tua, muda, pria dan wanita.
Kepada Achmad bin Baun Siregar dan Djatengger Siregar yang sudah menerima Perintah Operasi ditugaskan memakamkan jenazah pamannya Sisingamangaraja ke X ke dalam Royal Musoleum (kuburan dari batu), apabila Sisingamangaraja X Wafat dalam pertempuran.
Ciri Sisingamangaraja X adalah, memiliki tanda hitam dan berbulu di atas lidahnya, tanda tersebut ada turun temurun mulai dari Sisingamangaraja I. Tuanku Rao menunjukkan contoh tanda yang ada pada lidahnya, karena dia juga keturunan Sisingamangaraja
Itulah sebabnya ditanah batak selatan disebutkan bahwa Sisingamangaraja X dan Tuanku Rao “Dilana Marimbulu”(Lidahnya berbulu). Sehingga diyakini nantinya Tuanku Rao akan melanjutkan Dinasty Sisingamangaraja dari marga Sinambela menjadi Sultan yang bersifat asli batak.
Pasukan Djagorga Harahap dan Pasukan Achmad bin Baun Siregar melakukan serangan terhadap Benteng Bakkara dan Benteng Muara dengan taktik penyerangan melalui Dataran Tinggi Humbang, dari Pesisir Danau Toba dan dari air Danau Toba.
Selama dua bulan penyerangan dilakukan berkali-kali namun gagal, banyak korban jatuh di pihak Paderi, Benteng Muara dan Benteng Bakkara tetap berdiri kokoh. Semua serangan dapat dihalau oleh pasukan Panglima Parultop Simbolon yang berkekuatan duapuluh ribu orang dengan parit-parit pelindung dan jebakan di luar dan dalam benteng.
Tuanku Rao memerintahkan menghentikan serangan atas Benteng Muara dan Benteng Bakkara sambil menunggu kedatangan senjata artileri dari Benteng Bonjol.
Setelah berbulan-bulan, tibalah senjata meriam artillery yang ditunggu-tunggu. Senjata Meriam tersebut adalah Field Artilery caliber 25 pounder 88 millimeter. Yaitu Meriam bekas tantara Napoleon yang dibeli dengan emas murni dari Internasional Arms Racket di Penang.
Meriam tersebut adalah senjata Artileri terbaik saat itu, sudah di gunakan dalam perang di berbagai negara seperti Moskow, Beresina dan dalam perang Waterlow.
Perintah serangan terhadap Benteng Muara dan Benteng Bakkara dikeluarkan lagi, namun kali ini dengan kekuatan Meriam-meriam artillery sebagai penghancur benteng dan perkubuan untuk membuka jalan bagi pasukan kavalery.
Dari Dataran Tinggi Humbang dan dari Pesisir Danau Toba dari jarak jauh, Meriam-meriam menembaki Benteng Muara dan Benteng Bakkara. Efeknya, Benteng Muara Hancur lebur tidak ada lagi celah untuk pasukan bertahan, tembakan kearah parit-parit pertahanan menjadikan lubang-lubang besar yang terbuka.
Serangan Meriam bekas Tentara Napoleon itu menghancurkan dan meratakan tanah dari Benteng Muara hingga Benteng Bakkara, menjadi jalan terbuka untuk masuknya penyerang kavalery.
Kavalery Achmad bin Baun Siregar dan Djatengger Siregar didepan sekali memimpin pasukan menerobos Benteng Bakkara yang masih dipertahankan oleh Sisingamangaraja X dan sisa pasukan yang ada.
Mereka lupa sebagai pasukan Padri yang memiliki misi menanamkan Agama Islam, namun hanya mengingat inilah saatnya menjalankan “Sumpah Togar Natigor Siregar” yang pernah diucapkan sebagai keturunan dari Raja Porhas Siregar.
Dengan Suara Lantam dan bergemuruh, Djatengger Siregar menantang Sisingamangaraja X dari atas kudanya. Agar secara jantan keluar dan bertarung satu lawan satu, seperti dahulu Raja Oloan Sorbadibanua melawan Raja Porhas Siregar.
Raja Sisingamangaraja X keluar dan menerima tantangan itu, dia mengerti sejarah perseteruan yang terjadi di masa lalu, ribuan pasukan yang melihat tidak boleh ikut campur dalam pertarungan tersebut.
Pertarungan terhormat secara gentle ala batak dilakukan di atas kuda, kedua belah pihak sepakat menggunakan senjata pedang. Sisingamangaraja X yang sudah lanjut usia dengan Djatengger Siregar yang masih muda hasil didikan dari Zafrollah Aly gelar Tuanku Hitam bekas Janitsar kavalery tentara Turky.
Dalam putaran pertama Djatengger Siregar menyerang, Sisingamangaraja X berhasi mengelak namun kudanya terkena tusukan pedang.
Dalam putaran kedua, pedang Djatengger Siregar berhasi menebas bahu Sisingamangaraja X kemudan memancung dengan Gerakan pedang yang berbalik. Ciri jurus perang yang diajarkan Tuanku Hitam dalam berpedang dari atas kuda.
Kepala dari Sisingamangaraja X ditusukkan diatas tombak dan di pancangkan di tanah, Djatengger Siregar dan Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok yang begitu banyak membonceng dalam tentara Padri hanya untuk membalas dendam bersorak puas.
Atas permintaan mereka pula dengan lantam Djatengger Siregar menantang semua Putra-putra dari Almarhum Sisingamangaraja X untuk keluar dan bertarung secara jantan. Tanpa gentar sebelas orang putra dari Sisingamangaraja X dari pihak bakkara tampil untuk bertarung.
Djatengger Siregar memilih semua anggota Tentara Padri yang berasal dari Siregar Salak dari Sipirok. Pihak Bakkara diberikan kuda dan senjata secukupnya dalam pertarungan yang akan dibuat dalam sebelas partai pertarungan diatas kuda.
Hasilnya pihak Bakkara menang 7 – 4 pihak Siregar Salak Sipirok mati kutu dan malu, wanita dari pihak Bakkara bersorak mentertawai Pidari yang kalah. Tentara Padri yang bukan Siregar Salak dan tidak tertarik dengan pertarungan antara Siregar Salak dengan Pihak Bakkara marah kemudian mendiamkan wanita itu dengan pedang.
Terjadilah pertempuran, seluruh penduduk Bakkara bertempur sampai mati dipancung. Dibawah pimpinan putri Sere Sinambela para wanita lebih galak lagi karena sudah mendengar kekejaman yang dilakukan tentara Padri terhadap wanita di tanah batak yang telah diduduki.
Pertempuran berakhir dengan ribuan tubuh prajurit Bakkara yang bergelimpangan, yang tinggal hanyalah manusia dengan baju berjubah putih tentara Padri.
Djatengger Siregar terpaksa mencari Kembali kepala Sisingamangaraja X untuk dimakamkan di Royal Museleum (Batu Na pir = Kuburan dari batu yang besar). Mencari Kembali kepala Sisingamangaraja X yang jatuh dari atas tombak yang dipancangkan di atas tanah dalam pertempuran.
Ribuan kepala diperiksa dengan mencungkil mulutnya untuk melihat tanda hitam yang ada di lidahnya, hanya satu diantara ribuan kepala yang ada, akhirnya jasad kepala dari Sisingamangaraja X ditemukan.
Namun tidak diketahui lagi badannya dan tidak ada lagi orang Bakkara yang dapat ditanya karena semua sudah mati pahlawan. Demikian juga dengan Kuburan yang terdiri dari Sembilan batu yang besar yang membutuhkan banyak tenaga dan orang dalam jumlah besar untuk membuka batu tersebut.
Akhirnya Djatengger Siregar memilih Kuburan batu yang paling rusak diterjang peluru Meriam agar dapat memakamkan Jasad Sisingamangaraja X kedalam kuburan yang terbuat dari batu yang tebal dan besar tersebut. Kemudian mengambil satu jenazah pria mana saja untuk melengkapi Jasad yang dimakamkan, lalu menutup lubang batu tersebut dengan pecahan-pecahan batu.