Dalihan Natolu Konsep Kepemimpinan Era Baru

 

Apakah terlalu cepat apabila kita mengatakan saat ini perubahan jaman pasca Air Bah Masa Nabi Nuh dengan fase perubahan berikutnya? Kenyataannya Covid-19 telah memenuhi bumi dan membinasakan ribuan manusia di segala bangsa dan negara. Bedanya pada perubahan fase ini dengan kejadian air bah, manusia disaring dengan cara global.

Karena fase perubahan ini bukanlah menghapuskan atau memusnahkan kemampuan yang bersumber dari fisik atau jasmani (manusia Raksasa), tetapi  memusnahkan kekuatan yang berasal dari Rohani (Supranatural)yang terikat pada pernafasan yaitu hidung, tenggorokan dan paruparu.

Sulit dipercaya bila ada yang mengatakan kita sedang memasuki akhir jaman, namun faktanya kita sedang berhadapan dengan “Adaptasi Baru” dan proses seleksi alam terus berjalan, sudah hampir dua tahun  belum ada tanda-tanda berhentinya epidemi covid-19, seolah sedang berlangsung proses pemurnian.

Ini artinya orang-orang pada Era Baru sudah melewati seleksi dua fase sebelumnya, dimana fase pertama menuju fase dua adalah pemurnian fisik sedangkan fase kedua menuju fase ketiga adalah proses pemurnian Rohani.

Saatnya kita memasuki Fase ketiga dimuka bumi ini, Rabby Judah Ben Samuel(1217) mengatakan hari itu adalah Day of The lord, Alkitab berbicara (dalam Yoel 2 :31- 32) bahwa sebelum HARI TUHAN yang dahsyat datang didahului dengan  Matahari menjadi gelap gulita dan bulan menjadi darah, kemudian masuk pada Era Baru dimana orang yang berseru kepada Tuhan akan mendapatkan keselamatan.

Hanya Suku Batak satu-satunya di dunia yang mengadopsi tatanan Mikrokosmos dalam kehidupannya yang dibangun dalam adat sehari-hari dan menjadi budaya yang diwariskan turun-temurun. Dimana pada umumnya mikrokosmos dihidupkan dalam bentuk rumah, bangunan-bangunan yang disakralkan seperti tugu.

Dalam adat batak dikenal peribahasa  “Somba marhula-hula, elek marboru dan manat mardongan Tubu” yang artinya hormat kepada Hula-hula (Pihak Pemberi boru/istri), sayang atau mengasihi terhadap boru (Pihak wanita) dan saling pengertian antara abang dan adik.

Demikian juga dalam alam kehidupan makrokosmos digambarkan dengan Alam Ketuhanan (Alam Ruh) berwarna hitam yang berarti abadi, Alam Kehidupan Manusia (Penyatuan Ruh dan Daging) berwarna merah yang berarti energi kehidupan dan Alam Kematian (Dari tanah Kembali ke tanah) berwarna putih warna dasar dari semua warna material (warna kain Kafan).

Setiap keluarga pasti akan mengalami tiga peran yaitu Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru dalam hidupnya, dengan demikian pada dasarnya setiap orang memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda namun saling melengkapi.

Dalam konstruksi Dalihan Natolu ada unsur pembelajaran bagi setiap orang yang menjalankan adat, ketika menjalani peran hula-hula adalah tempat bertanya, memberikan doa dan semangat. Ketika menjalani peran Boru menopang atau memberikan dukungan operasional dan ketika sebagai dongan tubu bersinergi agar adat berjalan dengan baik.

Dalihan Natolu juga membentuk jaringan yang kuat menopang dan ditopang, fungsi pimpinan sebenarnya hanyalah memperbaiki jaringan kekeluargaan yang bermasalah, agar Kembali pada tempat pada fungsi yang seharusnya didalam lingkaran  Dalihan Na Tolu.

Setiap marga akan lebur membentuk kesatuan, saling menopang dan ditopang sehingga setiap satu keluarga adalah jaringan pengikat dua marga lainnya baik sebagai hula-hula maupun sebagai boru.

Symbol Dalihan Natolu selalu di gambarkan dengan kaki tungku nan tiga, yang  menopang periuk untuk dapat memasak makanan dalam menopang kelangsungan hidup. Itu artinya,  setiap pihak memiliki kedudukan yang sama namun posisi atau tempat yang berbeda.

Walaupun periuk diubah dan di putar, apabila tungku nan tiga kokoh pada tempatnya maka proses memasak makanan untuk mendukung kehidupan pastilah tetap berlangsung dan berlanjut.

Dengan demikian “Dalihan Natolu” memberi warna dalam kehidupan antar marga dan memberi fungsi yang berbeda dalam komunitas marga yang berbeda.

Itulah sebabnya kerajaan di Tanah Batak dipimpin seorang “Primus Interpares” bukan raja yang diwariskan turun temurun sekehendak manusia. Namun diturunkan kepada raja terpilih karena alam yang menghendaki, dimana sang raja bukan saja memimpin masyarakatnya tetapi juga tanah dan airnya.

Demikianlah Sisingamangaraja pertama telah dipilih sejak dari kandungan dimana alam dan ruh berbisik akan menjadi raja yang besar. Demikian juga dengan Raja Sisingamangaraja ke II dan seterusnya dipilih dan diseleksi oleh alam secara langsung.

Hanya raja yang terpilih oleh alam yang dapat mendatangkan hujan dan angin, demikian juga dengan “Piso Gajah Dompak” yang hanya dapat dicabut oleh calon Sisingamangaraja berikutnya.

Kekuatan alam tanah batak terbukti aktif dalam sejarah kehidupan di Tanah Batak, wabah penyakit Epidemi yang disebut “Begu Antuk” telah berperan memaksa keturuna Raja Lontung untuk tidak berdiam di tepi danau toba saja, tetapi harus menyebar hingga ke Desa Na Walu (Delapan penjuru angin).

Serangan Paderi pada tahun 1819 berhasil meluluh lantakkan “Benteng Bakkara” dengan serangan meriam-meriam bekas Napoleon, Sisingamangaraja X wafat dalam pertempuran, namun misi Paderi mengislamkan Tanah Batak Utara gagal karena “Epidemi Begu Antuk mengamuk”.

Pongkinangolngolan alias Tuanku Rao  yang juga keturunan Sisisngamangaraja sudah dipersiapkan akan menjadi “Sultan Tanah Batak” entah mengapa tidak lagi berkeinginan menjadi penguasa Tanah Batak, setelah Kerajaan Batak dapat ditaklukkan.

Seluruh keluarga kerajaan dibantai, namun dari beberapa bayi sebagai tunas yang ditinggalkan Raja Sisingamangaraja X, masih ada yang dapat disembunyikan oleh prajuritnya yang akhirnya alam mensahkannya untuk menjadi Sisingamangaraja XI.

Tentara Paderi yang didominasi orang-orang dari Tanah Batak Selatan yang tadinya berjumlah 150.000 orang menyerang tanah Batak Utara, harus kehilangan 80 % prajuritnya mengapa? Ternyata Alam juga turut berperang menunjukkan eksistensinya “Begu Antuk mengamuk”. Sehingga tantara Paderi harus memutus hubungan dengan masyarakat setempat dan buru-buru keluar dari Tanah Batak Utara tanpa sempat menjalankan misi pengislaman.

Sebenarnya jaring “Dalihan Natolu” terlalu kuat untuk dapat ditembus oleh pasukan lain kecuali kekuatan dari dalam sendiri, terbukti Kerajaan-kerajaan batak dapat dihancurkan oleh kekuatan dari dalam atau saudara sendiri dengan politik pecah belah.

Ketika Pasukan Paderi menyerang Siregar Sormin di Pinarung Pangaribuan (Pasukan Paderi yang berisi orang-orang Siregar Salak dari Tapanuli Selatan), Pasukan Gultom datang membantu di bawah komando Raja Uwalan Gultom dan Raja Pareme Gultom dengan kekuatan 5000 orang pasukan Kavalery demi menyelamatkan hula-hulanya.

Seluruh pasukan Gultom gugur pahlawan dibantai tentara paderi, namun  tanggung jawab Dalihan Natolu “Somba Marhula-hula sudah mereka jalankan”.

Ketika Raja Sisingamangaraja ke XII menghembuskan Napas yang terakhir, bersamanya wafat Patuan Anggi,  Patuan Nagari dan Putri Lopian. Namun masih ada lima putra lain yang hidup yaitu Raja Sabidan,  Raja Panghilim, Raja Buntal, Raja Barita dan Raja Pangaradang. Tetapi hingga hari ini Alam tanah batak tidak berkenan memilih satupun dari keturunannya untuk menjadi Raja berikutnya.

Tidak ada seorangpun yang berani mengangkat dirinya menjadi Raja Batak, karena menyadari konsekwensi menjadi Raja Batak berarti harus berhadapan dan mampu menundukkan kerasnya alam tanah dan air Batak.

Tentunya Raja yang dikehendaki alam adalah Raja yang berdaulat dihati rakyat, yang sudah dibuktikan oleh raja-raja batak sebelumnya. Bukan raja yang menjual tanah, air dan darah rakyat untuk kepentingan pribadinya.

Petuah Batak mengatakan : Ndang si manuk-manuk sibontar andora, ndang sitodo di turpuk siahut lomo n iroha, sae do guru di Dewata diadat patik manang uhum, Hatigoran dohot hasintongan. Ise na miniahanna ido bangkit raja singkat ni amana. Asa ndada ala torop , bisuk dohot gogo umbahen gabe raja, ianggo sahala harajaon ido na manontuhon dohot mangalehon hasanggupon, asa marsahala raja.

Artinya : untuk menjadi seorang raja bukanlah seorang yang bersifat semena-mena melakukan sekehendak hati yang disukainya, tetapi yang selalu bersandar pada Tuhannya dalam adat dan aturan kebenaran yang diikutinya. Bukanlah karena hebat, pintar dan kuatnya sehingga di tunjuk menjadi raja, tetapi  Roh Tuhan sendirilah yang menentukan sehingga sanggup memiliki kemuliaan seorang raja.

Bukan tidak mungkin konsep Dalihan Natolu akan menjadi formasi Indonesia Masa Depan, suatu konsep kerakyatan yang tidak memandang status pangkat dan kekayaan, sehingga paling kuat membentuk jaring pertahanan massal.

Panggilan Raja kepada setiap orang dalam budaya Batak menunjukkan tingginya rasa saling penghormatan dan penghargaan kepada setiap individu, yang dibangun atas dasar konsep Dalihan Natolu.

Adanya pengawasan melekat dari hula-hula yang selalu memberi nasihat yang menghidupkan, dilain pihak ada boru yang mendukung dan menerima arahan hula-hula, demikian juga dongan tubu yang menjadi perkuatan untuk tercapainya suatu usaha. Seolah Kekuatan berlapis yang saling terikat membentuk rantai persaudaraan yang kuat.

Didalam Dalihan Natolu tidak akan kita temui proses impeach seorang pimpinan, karena sang pemimpin didukung oleh alam. Seorang “Primus Interpares” hanya seorang seorang penjaga jalur perekonomian agar terus mengalir, meluruskan permasalahan yang kusut dan mengembalikan segala sesuatu pada tempatnya.

Ketika system sudah Kembali bekerja pada tempatnya, maka seperti air yang mengisi tabung dan selang dimanapun berada, akan  terisi dan penuh bersama-sama mencapai kesejahteraan.

A. Braasem dalam bukunya “Proza en Poȅziȅ” (lk ±1600)menggambarkan Sisingamangaraja memiliki kepribadian Raja-pendeta bahkan Raja Dewa atau Raja yang didewakan karena kekuatan alam yang mendukung pemerintahannya, seolah kekuatan gaib dimata yang menyaksikannya.

Menjadi Raja Batak berarti membawahi Raja Bius penguasa wilayah, sedangkan Raja Bius membawahi Raja Huta, ini Berarti juga Sisingamangaraja adalah Rajanya Raja.

Semakin besar pelayanan seorang Primus Interpares terhadap masyarakatnya, semakin besar pula dukungan alam terhadap keputusan dan perintah yang diberikan.

Itulah sebabnya seorang Primus Interpares tidak membangun Istana yang megah dan menjulang tinggi, karena konsep keteladanan yang diembannya yaitu menjaga keseimbangan. Sehingga muncul sebutan “Halinu ni Debata Mulajadi Na Bolon” (Bayangan Tuhan) terhadap seorang Primus Interpares.

Pada saat ini tentu saja sebutan “Halinu Ni Debata Mulajadi Na Bolon”(bayangan Tuhan) akan menjadi kontradiksi yang fatal mengarah pada mempertuhankan manusia. Namun yang dimaksud “Halinu”(bayangan) disini adalah Keteladanannya dan hukum yang dipraktekkan adalah hukum Tuhan Sendiri yang membawa pada kesejahteraan masyarakatnya.

Padahal Rakyat Batak tidak pernah mendewakan Raja Sisingamangaraja, demikian juga Sisingamangaraja tidak menghendaki apalagi bernafsu untuk didewakan. Karena menyadari letak kekuatannya adalah dalam pelayanan terhadap rakyatnya.

Walaupun konsep ini akan menghadapi rintangan dari orang-orang yang memuja Era digital dimana bertumpu pada kekuatan Artificial Intelligency (AI) yang banyak mengambil alih Human Operation, namun sejarah akan membuktikan, Dalihan Natolu adalah konsep kehidupan yang dibutuhkan manusia pada Era Baru saat ini .

Besarnya arus informasi dan trend teknologi canggih yang mendunia seolah menggilas dan mengikis  “Budaya Timur” yang berakar pada seni artistic dan kelemah lembutan kehidupan. Menciptakan manusia baru yang keras beringas dan berorientasi pada produk semata, tanpa menghiraukan nurani dan kesejatian yang hakiki.

Seolah kepalsuan hal yang biasa dan pembenaran didasari kekuatan, kemudian berakhir dalam kehampaan  karena hati tidak dapat berdusta, ada rasa haus akan humanis yang hilang dan terkikis.

Orang-orang mengimpikan seorang Satria Piningit penguasa tiga alam yang akan membawa Indonesia kedepan Pintu Gerbang Kemerdekaan yang sejati. Satu-satunya konsep “Satria Piningit” pilihan alam cikal bakalnya ada di Tanah Batak yaitu pemimpin “Primus Interpares”.

Maka apabila Satria Piningit benar-benar hadir, maka konsep kehidupan yang paling tepat diterapkan  adalah konsep Dalihan Natolu  yang telah diuji dan dipraktekkan di tanah batak.

Pada dasarnya Intisari kekuatan konsep Dalihan Natolu adalah sempurnanya penghormatan dan pengakuan atas tanah, langit dan bumi menjalin tiga kekuatan dalam satu harmonisasi. Itulah inti dari kekuatan Satria Piningit yang disimbolkan dengan tajamnya tiga tombak yang disatukan dalam Trisula Wedha.

Sayangnya, keyakinan akan berkat yang akan diterima ketika telah melaksanakan adat dengan baik  ampuh memberi kesejahteraan sudah mulai pudar, saat ini adat dilakukan hanya untuk suatu kehormatan dan gengsi belaka, tanpa mendalami makna adat yang sebenarnya yaitu sahnya harmonisasi dan kerukunan sebagai titian dasar mengalirnya berkat illahi .

Alam Ketuhanan, alam Kehidupan dan Kematian dari dahulu hingga sekarang tidak pernah berubah, hanya sedikit istilah dan Bahasa tidak mengikuti jaman, istilah lama seolah menjadi suatu hal yang kumal dan bau.

Implikasinya apabila Dalihan Natolu diterapkan pada tingkat Nasional maka haruslah ada marga baru yang menjadi landasan Dalihan Natolu diterapkan, mungkinkah?

Tidak ada yang tidak mungkin apabila Tuhan sudah berkehendak, karena setiap kepemimpinan yang baru akan menterapkan cara yang terbaik atas konstruksi kepemimpinan yang telah disiapkan.

Mula Efendi Gultom, SP.

(seorang petani, yang bekerja di udara, pecinta batak, tuak, mi hudon dan gulamo)

Next Article

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *