Menolak Batak Kanibal

kanibalisme juga disebut antropofag, memakan daging manusia oleh manusia. Secara etimologis kata “kanibal” merupakan kata pungutan dari Bahasa Belanda yang pada gilirannya memungut dari Bahasa Spanyol; “canibal” yang berarti orang dari Karibia.

Suku batak menganut agama dan penganut kepercayaan yang beragam saat ini namun tidak ada satupun agama dan kepercayaan pada suku Batak yang berisikan ajaran memakan daging manusia.  Bahkan bila diteliti lebih jauh dalam adat dan naskah laklak warisan leluhur, dominannya adalah berisi pengobatan, ilmu menghadapi musuh, pemerintahan, bercocok tanam, adat dan penghargaan (Pasangaphon) bahkan menyebut nama leluhur yang sudah tiada selalu didahului dengan permohonan ijin (marsantabi).

Tentu saja berbicara mengenai suku harus berdasarkan adat kebiasaan yang dianut, bukan berdasarkan oknum atau sekelompok orang.

Coba anda bayangkan ketika anda mendengar sindiran yang berkata batak makan orang !!   apakah jawab anda ? apakah senang dan bangga bahwa Batak menjadi hebat karena makan orang ? atau kecewa karena yang tergambar dalam benak kita bahwa suku batak begitu rendahnya hingga makan jasad manusia seperti suku-suku kuno yang memiliki peradaban sangat rendah.

Sadarkah kita kalau jargon itu telah menghancurkan nilai kemanusiaan insan putra putri batak !! lalu dimana pelajaran ahklak diletakkan apalagi dipraktekkan, karena manusia saja dimakan !!!

Sebuah pernyataan yang tidak berdasar sama sekali, kalau kita tidak perduli dengan jargon ini, berarti kita mengamini sesuatu yang salah !!! dengan kata lain kita setuju…

Padahal jargon ini didapat dari catatan perjalanan penulis barat orintalis  ke Sumatra dalam rangka mencari dan memburu harta Tanah Air Indonesia pada tahun 1800 an, tentunya apa yang mereka lihat dan tulis bukanlah pernyataan yang menjadi arti dari kata Batak itu sendiri.

Satu kejadian manusia atau sekelompok manusia “makan orang” akan menjadi berita yang sangat menarik dibandingkan aktifitas seluruh masyarakat yang melakukan aktifitas seperti biasanya. Sialnya …. catatan ini dijadikan pembenaran dan acuan oleh sekelompok orang untuk memecah belah persatuan.

Dalam suatu Wikipedia Sabtu, 06 Agustus 2022 disebut “Ritual kanibalisme telah terdokumentasi dengan baik di kalangan orang Batak, yang bertujuan untuk memperkuat tondi  pemakan itu. Secara khusus, darah, jantung, telapak tangan, dan telapak kaki dianggap sebagai kaya tondi “ (https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak).

Entah dari mana wikipedia ini membuat pernyataan ngawur diatas, padahal peradaban batak mewarisi  Keagungan Sistem Dalihan Natolu dengan prinsip dasarnya adalah lingkaran saling menghargai yang tidak terputus. Dimana manat mardongan tubu dan elek marboru adalah simbol mengasihi sesama, sedangkan somba marhula-hula adalah simbol mengasihi Tuhan (Ruh manusia berasal dari Tuhan yang disimbolkan dengan hula-hula yang memberikan pasangan/ istri).

Sedangkan penjabaran batak itu ibarat sebuah pohon, batangnya disebut Batak dan ujungnya disebut Habatahon dimana sudah bercabang ,berdaun dan berbuah disebut manjujung baringin na karena sudah menjalankan :

  • Adat yaitu Tata cara untuk menghormati Tuhannya (Mulajadi Na Bolon), sesamamanusia dan alam.
  • Patik yaitu Laranga, tabu atau yang tidak boleh dilakukan dan
  • Hukum (Uhum) yaitu kebenaran dan kebaikan yang harus dilaksanakan.

Tentunya pernyataan  “Batak kanibal”  yang didasarkan oknum atau sekelompok orang tersebut tidak dapat dijadikan dasar, sehingga pernyataan tersebut harus  dibersihkan dari catatan perbendaharaan kata tentang pengertian batak di seluruh dunia.

Sementara dalam kamus bahasa indonesia sendiri arti kata Batak sebagai berikut :

Pengertian yang  berisi menyamun, penyamun dan merampas adalah  penghinaan  terhadap suku batak, hal ini mungkin masih mengutip dari para penulis barat yang mengartikan “Batak” melalui tingkah polahnya pada tahun 1800 an, wajar saja kalau pendatang dari barat yang menjarah tanah batak sering dirampok oleh penduduk setempat dan menjadikannya arti dari batak itu sendiri.

Arti kata Batak ini pula yang menyebabkan “Mandailing menolak label batak “ dalam Riwayat Tanah Wakaf Bangsa Mandailing di Sungai Mati Medan(Mangaraja Ihoetan ,1926), dengan alasan  :

  1. Merujuk pada Wilken bahwa Batak adalah agama politeis dan mencerminkan kanibalis
  2. Merujuk pada Junghun bahwa bahasa Mandailing bukan bahasa Batak
  3. Merujuk pada pendapat Van Dijk bahwa leluhur Mandailing berasal dari orang Loeboe dan
  4. Adanya pengaruh Hindu di Mandailing yang berbeda dengan Hindu di Angkola.

Acuan yang benar-benar ngawur karena Batak bukan mencerminkan agama tetapi adat, sedangkan tanpa adat itu sendiri manusia hidup tanpa aturan. Padahal keyakinan masyarakat lama suku batak adalah parmalim, ketika agama Kristen datang maka parmalim tidak benar menurut Kristen, ketika agama Islam datang, maka Parmalim juga tidak benar menurut Islam, namun bagi penganut Parmalim sendiri itulah kepercayaan yang benar tentu tidak salah bukan.

Padahal arti batak itu sendiri menurut catatan adat batak :

Batak artinya Duduk

Batahi artinya Pecut (alat memecut agar kuda berjalan/berlari)

Mamatak artinya Menduduki Kuda

Dibatak artinya Menunggang Kuda sambil memecut dan berlari kencang

Tanah batak yang berada di wilayah ketinggian memiliki daerah yang berbukit, lembah dan hutan  sehingga kereta seperti andong tidak populer karena tidak akan sanggup mendaki ketinggian maupun  menuruni lembah yang dalam. Banyaknya wilayah hutan juga menjadi tempat penyamun bersarang menjarah pedagang yang lewat.  Dengan demikian kemampuan berkuda menjadi andalan dalam transportasi maupun menghadapi penyamun di daerah berhutan.

Tentu saja antara penyamun dan penduduk setempat disebut orang batak karena berada di wilayah yang sama yaitu “Tanah Batak”, tetapi bukan berarti semua penduduk bersuku batak disebut penyamun karena disana ada penyamun. Bagi pendatang dari barat sang penyamun adalah batak dan mengartikan batak sebagai penyamun, ini pula yang diangkat menjadi arti batak dalam kamus bahasa Indonesia. Kalau Bangsa Indonesia sendiri tidak menghargai dan tidak mengambil arti dari akar bahasa sukunya sendiri, lalu siapa lagi yang akan mengangkat harkat dan martabat  suku bangsa sendiri. Itulah sebabnya corak ukiran di tanah batak banyak menggambarkan orang duduk  diatas kuda atau menunggang kuda.

Sebelum penyerangan pasukan Padri  yang di pimpin Tuanku Imam Bonjol  tahun 1816 ke tanah batak, kuda di tanah batak dikenal sangat bagus-bagus  dan orang batak penunggangnya dikenal  cekatan mahir  dalam berkuda. Kuda dan penunggangnya tersebut  dilirik oleh pasukan Padri sebagai asset bagian dari rencana perkuatan untuk melebarkan sayap  pasukan Padri  hingga ke Aceh, namun akhirnya kandas karena serangan penyakit sampar di Tanah Batak dan kedatangan penjajahan Belanda berkedok perdagangan.

Contoh ukiran Menunggang Kuda yang banyak di temukan dalam seni ukir Batak.

Dari ukiran tersebut harusnya Suku Batak mendapat julukan para kavaleri elit yang di perhitungkan. Simbol Manusia berkuda yang menjadi arti Batak itu sendiri menunjukkan bahwa kemahiran berkuda adalah suatu bentuk simbol yang di puja. Tentu saja kuda adalah alat transportasi pavorit dan hewan yang paling banyak digemari dengan nilai jual yang tinggi saat itu.

Dalam buku Tuanku Rao yang ditulis oleh Mangaradja Onggang Parlindungan disebutkan, ketika pasukan Paderi yang dipimpin Achmad Baun Siregar yang berisi marga siregar Salak menyerang Siregar Sormin di Pinarung Pangaribuan, datanglah bantuan  klan marga Gultom dari Batunadua Pangaribuan dengan lima ribu pasukan Kavaleri untuk membantu.  Ini menunjukkan kerajaan- kerajaan yang ada di tanah batak memiliki pasukan berkuda yang tersebar di seluruh tanah Batak pada saat itu.

Junghun (1838) dalam suatu tulisannya menunjukkan simpati besar kepada orang Batak,  Ia menghargai tinggi keramahan mereka terhadap tamu, spontanitasnya, keramah-tamahannya dan juga keterbukaannya. Ia mengagumi bahasa baku mereka, tetapi tidak dapat memahami kenapa mereka menggemari kanibalisme. Agaknya kanibalisme mereka cuma sebuah legenda, yang disebarluaskan oleh masyarakat Batak sendiri untuk menghalangi orang-orang dari luar masuk ke daerah mereka.

Ini adalah pernyataan Junghun yang sudah datang dan berjalan kaki selam 17 bulan ke pedalaman batak hingga kakinya sakit dan harus beristirahat di tempat tidur selama sepuluh bulan. Dalam perjalannya kepedalam tidak menemukan adanya kanibalisme, Junghun bahkan bertemu dengan Pasukan Padri yang mempersulitnya memasuki tanah batak. Dia dapat merasakan bagaimana keramah tamahan, keterbukaan dan bahasa batak yang baku dan pastinya sangat bertentangan dengan pernyataan batak yang Kanibal, karena kanibal pada dasarnya menggambarkan sisi buruk yang tidak memiliki tata aturan dan susila seperti binatang, bahkan hanya hewan tertentu saja yang memiliki sifat kanibal tidak semua hewan.

Dalam memoir Marco Polo yang sempat datang berekspedisi dipesisir timur Sumatra dari bulan April sampai September 1292, ia menyebutkan bahwa ia berjumpa dengan orang yang menceritakan akan adanya masyarakat pedalaman yang disebut sebagai “pemakan manusia”. Dari sumber-sumber sekunder, Marco Polo mencatat cerita tentang ritual kanibalisme di antara masyarakat “Battas”. Walau Marco Polo hanya tinggal di wilayah pesisir, dan tidak pernah pergi langsung ke pedalaman untuk memverifikasi cerita tersebut, tetapi dia bisa menceritakan ritual tersebut.

Niccolò Da Conti (1395–1469), seorang Venesia yang menghabiskan sebagian besar tahun 1421 di Sumatra, dalam perjalanan panjangnya untuk misi perdagangan di Asia Tenggara (1414–1439), mencatat kehidupan masyarakat. Dia menulis sebuah deskripsi singkat tentang penduduk Batak: “Dalam bagian pulau, disebut Batech kanibal hidup berperang terus kepada tetangga mereka “.

Thomas Stamford Raffles pada 1820 mempelajari Batak dan ritual mereka, serta undang-undang mengenai konsumsi daging manusia, menulis secara detail tentang pelanggaran yang dibenarkan. Raffles menyatakan bahwa: “Suatu hal yang biasa dimana orang-orang memakan orang tua mereka ketika terlalu tua untuk bekerja, dan untuk kejahatan tertentu penjahat akan dimakan hidup-hidup”.. “daging dimakan mentah atau dipanggang, dengan kapur, garam dan sedikit nasi”.

Sangat bertentangan sekali dengan adat kebiasaan suku Batak yang sangat memuliakan orang tua, bahkan orang tua yang sudah dikubur setelah puluhan tahun tulang-tulangnya di angkat dan diletakkan dalam “Batu Na pir” yaitu bangunan dari batu, karena menurut kepercayaan kuno tulang belulang tersebut masih dapat berkomunikasi dengan Tuhannya.

Oscar von Kessel mengunjungi Silindung pada tahun 1840-an, dan pada tahun 1844 mungkin orang Eropa pertama yang mengamati ritual kanibalisme Batak di mana suatu pezina dihukum dan dimakan hidup. Menariknya, terdapat deskripsi paralel dari Marsden untuk beberapa hal penting, von Kessel menyatakan bahwa kanibalisme dianggap oleh orang Batak sebagai perbuatan berdasarkan hukum dan aplikasinya dibatasi untuk pelanggaran yang sangat sempit yakni pencurian, perzinaan, mata-mata, atau pengkhianatan. Garam, cabe merah, dan jeruk nipis harus diberikan oleh keluarga korban sebagai tanda bahwa mereka menerima putusan masyarakat dan tidak memikirkan balas dendam.

Selain kasus kanibalisme karena keadaan terpaksa, ada pula beberapa kasus yang terjadi karena pelakunya terkena pengaruh kelainan jiwa. Dari pernyataan tersebut dapat kita ambil kesimpulan kalaupun ada kejadian Kanibalis itu terjadi bukan karena keinginan apalagi menjadi suatu kebiasaan. Banyak terjadi kasus Kanibal di negara lain namun tidak menjadi jargon bahwa suku mereka disebut Kanibal.

Idaho adalah satu-satunya negara bagian AS yang membahas kanibalisme secara eksplisit dalam undang-undangnya. Kanibalisme dapat dipertahankan dalam kasus-kasus “kondisi yang mengancam jiwa sebagai satu-satunya cara untuk bertahan hidup”, tetapi keyakinan atas tuduhan kanibalisme dalam kasus lain dapat dihukum hingga 14 tahun penjara(Kamus Britanica), namun tidak pernah disebutkan Amerika sebagai negara Kanibal.

Lukisan Hans Staden oleh H. J. Winkelmann, 1664 (Pejelajah Jerman yang berlayar ke Amerika Selatan pada pertengahan abad ke 16 pernah ditahan oleh orang Tupinamba dari Brasil yang mempraktekkan kanibal)

Dalam suatu prasasti dimana Pdt Munson dan Lyman di bunuh di Lobu Pining bertuliskan kalimat  “Munson dan Lyman meninggal dunia karena dilahap oleh orang Batak”  (Atau dalam bahasa Jerman   Gegessen und Gefrese).

Namun kalimat ini kemudian diubah karena menimbulkan prasangka buruk sehingga menyatakan semua orang Batak adalah kanibal. Pada 1934 kalimat tersebut kemudian diubah menjadi “Darah para martir adalah benih bagi gereja Tuhan Yesus” (Dalam Bahasa Batak : Mudar ni halak martyr i do boni ni huria ni Tuhan Jesus)

(

(Sumber Gambar : https://romans1015.com/tag/samuel-munson)

Ini penyataan latah masa kini yang menyebut Desa Siallagan sebagai perkampungan kanibal berlatar belakang kursi pengadilan peninggalan kerajaan batak. Entah dengan dasar apa menyebut Kampung Siallagan memiliki jejak Kanibal. Begitu mudahnya memberi label “Batak Kanibal” apakah karena bukan seorang batak atau karena orang Batak itu sendiri tidak pernah mau menentang label yang sangat menghina tersebut.

Padahal Kursi Batu Persidangan menunjukkan tingginya peradaban dalam membangun kepercayaan masyarakat, bahwa sang raja dengan adil memutuskan hukuman bagi pelaku kejahatan diwilayahnya melalui suatu persidangan. Lalu dimana jejak Kanibalnya!!  hukuman mati dengan pedang atau tombak sama saja dengan hukuman mati saat ini bedanya hanya alat membunuh saja yang berbeda yaitu dieksekusi oleh satu regu bersenjata api.

Bila jargon “ Batak kanibal” tetap dibiarkan tanpa ada reaksi penolakan, sama artinya kita membiarkan pengertian ini tumbuh subur bahkan hingga generasi yang akan datang maka akan memberikan dampak yang lebih besar seperti hal berikut :

Suku Batak sama dengan Suku terbelakang

Disamakan dengan suku suku  Kurowai di Papua Nugini, Sekte Aghori di India, Suku Wari’ di Brazil, Suku Macan Tutul di Afrika Barat dan  Suku Aztec di Meksiko dimana mereka adalah suku pemakan jasad manusia. Padahal Suku Batak penghasil dan  menjual Kemenyan kapur Barus sebelum Tarik Masehi. Yang telah berhubungan dengan penduduk dari seluruh belahan dunia yang datang berkunjung dengan menggunakan kapal dagang  yang berdampak pada peradaban lebih maju, karena berasimilasi dengan bangsa dari seluruh dunia.

Merendahkan Arti Batak itu sendiri

Batak makan orang, tentu menjadi pernyataan yang menyakitkan, bahkan terutama bagi para generasi muda yang akan merasa suatu yang menjijikan, hal ini membuat rendahnya harga diri ditengah-tengah suku yang lainnya.

Perpecahan

Buruknya pengertian Batak ini pula yang menjadikan kasus “Mandailing menolak label batak”. Boleh jadi para generasi muda juga memiliki pikiran yang sama, menjauh dari label batak karena buruknya pengertian batak yang berkembang tanpa ada unsur penolakan dari masyarakat bahkan tokoh batak sendiri.

Semua tentu kembali kepada Suku Batak sendiri, apakah jargon “Batak Kanibal”  dibiarkan berkembang dan hidup ditengah masyarakat dan mengakar, demikian juga pengertian “ pembatak atau membatak yang berasal dari kata Batak adalah penyamun dan merampas” tercantum didalam Kamus Bahasa Indonesia sendiri ! bukan main !!!. hingga bangsa sendiri memberi cap begitu hina terhadap sukunya sendiri.

Langkah awal dari proses tersebut adalah menghapus  stigma negatif tersebut dari seluruh perbendaharaan bahasa didalam kamus bahasa Indonesia, bahwa pengertian pembatak maupun membatak adalah penyamun dan merampas dihapus dari Kamus Bahasa Indonesia. Untuk menghapus pengertian yang menyimpang dari Kamus Bahasa Indonesia dapat dilakukan dengan aturan hukum yang berlaku dengan melakukan gugatan secara tertulis karena memiliki bukti tertulis yang otentik.

Sedangkan pernyataan Batak Kanibal tidak tidak ada pernyataan konkret yang menjadi bukti suatu pernyataan, namun pernyataan tersebut hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat sendiri yang bersumber dari tulisan para pendatang dari negara barat yang bertujuan dagang kepulau Sumatera. Sehingga pernyataan tersebut berupa Issu yang berkembang dan hidup di tengah masyarakat.

Walaupun dibiarkan hingga beberapa dekade kedepan issu tersebut tidak akan hilang, bahkan menimbulkan tandatanya yang besar dan keinginan tahu bagi generasi muda Batak. Karena itu dibutuhkan Issu counter yang dihidupkan ditengah aktifitas budaya batak itu sendiri, bahwa adat budaya batak sangat menentang adanya label Kanibalisme. Untuk itu perlu adanya slogan dan afirmasi di tempat tempat wisata yang menunjukkan tidak mungkin Kanibalis diadopsi sebagai bagian dari kebiasaan suku batak.

Kampanye Batak Bukan Suku kanibal juga akan lebih efektip apabila produsen kaos ataupun pakaian yang di jual di tempat wisata maupun tempat perbelanjaan umum bersedia membuat kreasi unik dengan label menarik dengan tulisan bertema Batak Bukan Suku Kanibal.

Semoga setitik seruan ini berdampak terhadap titik pandang terhadap Suku Batak sebagai Suku yang memiliki peradaban dan menjunjung nilai kemanusiaan yang tinggi, sebagai mana tingginya harga diri Seorang Sisingamangaraja XII yang lebih memilih berjuang sampai titik darah penghabisan, dari pada bergelimang kemewahan diangkat oleh Belanda menjadi Sultan diatas penderitaan rakyatnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Previous Article
Next Article

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *