Arak-arakan Gajah Lumpat
PERJALANAN PANJANG SIREGAR IX
Gajah Lumpat berasal dari kata gajah yang digunakan untuk membawa mayat manusia yang dikorbankan diatas Dolok Pamelean, dimana pada saat gajah melalui jalan yang berbelok-belok tersebut, sang pengendali memerintah dengan alatnya kadang kekiri atau kekanan sehingga gajah berjalan dengan meloncat-loncat tidak karuan, akibatnya tidak jarang masyarakat yang mengiringi menjadi korban dan meninggal dunia.
Gajah yang akan digunakan untuk upacara mengarak Jenazah dari korban persembahan tersebut, terlebih dahulu dicat dengan warna-warni hitam, putih dan merah.
Setelah jenazah dinaikkan di atas gajah dimulailah arak-arakan yang dihadiri ribuan masayarakat tua muda, pria wanita sambil berjalan disi kiri dan kanan Gajah.
Arak-arakan itu dimulai dari Dolok Pamelean (Bukit Pengorbanan), Baringin Tumburjati, Parausorat, Sipirok Godang dan kembali ke Dolok Pamelean. Walaupun jaraknya tidak sampai 20 km namun perjalanan tersebut di tempuh selama tiga hari, tiga malam.
Karena waktu pelaksanaan telah ditentukan sebelumnya, agar prosesi arak-arakan Gajah Lumpat nantinya tepat pada saat bulan purnama. Sehingga setiap tempat yang dilalui pada malam hari akan menjadi pasar malam yang meriah, dimana semua masyarakat tumpah ruah.
Pasar malam juga akan menjadi tempat bagi pemuda dan pemudi untuk bertemu dan berkenalan mencari jodoh. Disamping kegiatan berjualan tidak ketinggalan adu ketangkasan atau perjudian.
Perjalanan arak-arakan tidak boleh lurus saja tetapi dilakukan dengan berbelok-belok sesuai arahan para tetua atau Datu, karena menurut kepercayaan para Datu agar Jenazah korban Gajah Lumpat tidak diikuti oleh “Begu” (Roh Jahat).
Akibatnya setiap tahun ada saja penduduk yang mati konyol bukan karena tertikam Tombak Pusaka, tetapi karena terinjak-injak gajah yang menjadi kacau karena sang kusir orang India membelok-belokkan gajah kekiri dan kekanan, akhirnya sang gajah mengamuk dan melompat-lompat. Itulah awalnya disebut “Upacara Gajah Lumpat”.
Sesudah Ompu Paltiraja wafat, maka raja Parausorat Ompu Raja Sajurmatua mengusulkan agar gajah yang hidup didalam “Upacara Gajah Lumpat” diganti dengan gajah-gajahan saja yang dibuat dari kayu lengkap dengan roda untuk berjalan. Dengan demikian tidak akan adalagi gajah yang mengamuk melumpat-lumpat tidak karuan yang memakan korban manusia.
Kereta dari Gajah-gajahan tersebut bergerak dengan didorong kekiri dan kekanan, dinamakan dengan “Roto Gajah Lumpat”.
Penggunaan Roto Gajah Lumpat tersebut pada akhirnya nanti dihapuskan pada tahun 1816 oleh Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao sebelum Roto Gajah Lumpat tersebut di modernisasi.
Namun Penduduk Luat Sipirok tetap menggunakan nya tetapi bukan lagi untuk mengarak jenazah Korban dari Dolok Pamelean, tetapi sebagai penghormatan tertinggi untuk pemakaman penduduk di Luat Sipirok.